Perubahan iklim telah menjadi isu global yang ditandai dengan perubahan cuaca secara ekstrem. Tidak hanya di daratan, perubahan iklim juga banyak dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil.
“Pada perubahan iklim di pulau-pulau kecil itu dilihat dari sudut alam terjadi kenaikan muka air laut, yang terjadi secara perlahan tanpa disadari. Pada saat yang bersamaan ada air laut yang naik lalu terjadi ombak yang besar atau angin kencang. Itu semua adalah perubahan iklim. Sehingga terjadi air laut bisa saja masuk ke dalam pulau atau menghantam pinggiran pulau pantai yang berpasir,” ungkap Syafyudin Yusuf, dari Coral Center, Pusat Studi Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Universitas Hasanuddin, pada sebuah diskusi di Makassar, akhir November lalu.
Menurut Syafyudin, kerusakan pulau akibat perubahan iklim ini sudah terlihat di beberapa pulau di Kepulauan Spermonde. Terjadi kondisi di mana pantai berpasir mengalami abrasi yang luar biasa. Hal yang sama juga dia temukan di Kepulauan Balabalakan, Sulawesi Barat.
“Ini semua terjadi akibat memang ada perubahan cuaca, ada perubahan iklim, dan ada perubahan secara global masa air laut yang naik. Karena terjadi secara global pencairan es yang ada di kutub. Itu faktornya,” jelasnya.
Perubahan iklim juga dianggap menghambat masyarakat pulau untuk beraktivitas sehingga kemudian terisolasi di pulaunya sendiri. Mereka tidak punya akses atas sumber-sumber makanan dari daratan.
“Pada musim hujan dan angin kencang mereka terisolasi dan ini sudah terjadi beberapa tahun silam di mana mereka terisolasi akibat angin kencang dan cuaca buruk. Ini salah satu kerentanannya,” tambahnya.
Dampak lain yang dirasakan adalah terjadinya pemanasan air yang kemudian menyebabkan berkurangnya sumber daya akibat rusaknya terumbu karang sebagai habitat ikan.
“Karang-karang banyak yang mati sehingga ikan tidak berkembang dan akan sangat berkurang. Atau jika ikan-ikan itu terkena paparan panas oleh suhu panas pada saat terjadi bleaching itu mereka akan berpindah ke kedalaman yang lebih dingin. Nah itu fenomenanya.”
Fenomena bleaching atau pemutihan karang ini pernah terjadi di Kepulauan Spermonde pada tahun 2009-2010, yang kemudian terjadi lagi tahun 2016 meski tidak separah sebelumnya.
Berbagai faktor tersebut, jika terjadi terus menerus pada akhirnya bisa menyebabkan kemiskinan yang berkelanjutan pada masyarakat, ketika mereka merasa sumber daya alam itu tidak lagi bisa mendukung kehidupan keluarga mereka. Apalagi dengan semakin banyaknya pengeluaran, baik untuk kebutuhan pokok maupun untuk gaya hidup.
“Nah saat ini memang masyarakat pulau itu belum kelihatan bahwa ada dampak signifikan daripada perubahan iklim itu. Tapi perlahan-lahan itu terjadi walaupun tidak dirasakan secara drastis. Oleh karena itu masyarakat memang harus beradaptasi, harus memiliki variabilitas mata pencarian.”
Menurut Syafyudin, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menghadapi kerentanan tersebut adalah dengan mendorong nelayan untuk mencari sumber mata pencaharian lain, dan sumber pangan yang lain, tidak hanya bertumpu pada perikanan.
“Mereka yang di pulau bisa diberi alternatif kegiatan, misalnya dengan ternak itik atau ayam untuk memenuhi kebutuhan protein mereka. Masyarakat pulau yang memiliki suplai air tawar yang memadai juga harus dibiasakan untuk menanam sayur-sayuran agar tak lagi tergantung dari kota,” jelasnya.
Perubahan iklim juga menyebabkan juga degradasi sumber daya. Nelayan pada akhirnya akan mencari sumber-sumber daya alam lain yang masih melimpah untuk diambil hasilnya, yang kadang harus melaut hingga jauh.
“Saat ini, nelayan akan berlayar lebih jauh untuk menggapai sumber daya alam yang masih melimpah. Misalnya, para pa’gae mencari ikan ke daerah-daerah yang di luar Sulawesi. Kemudian para pencari teripang sudah lagi tidak mencari teripang di sekitar lokasi, karena mereka sudah tahu bahwa di situ sudah mengalami degradasi.”
Hanya saja, biaya yang mereka keluarkan itu akan jauh lebih besar dibanding dengan apa yang mereka praktikkan sebelumnya.
“Setelah sumber daya di sekitarnya itu sudah tidak ada, maka mereka akan mencari lagi daerah-daerah baru yang mereka menganggap menguntungkan. Ini memang sudah berlangsung cukup lama dan ini menjadi suatu faktor kerentanan bagi masyarakat dan ancaman juga bagi masyarakat ketika tak bisa memelihara lingkungan sekitar menjadi lebih baik. Mereka pada akhirnya akan merasa sulit untuk mencari sumber daya sekitar kita yang tersedia pemenuhan kebutuhan hidupnya.”
Hanya saja, lanjutnya, meski perubahan iklim berdampak pada kerusakan ekosistem laut namun dampaknya tidak seburuk akibat ulah manusia, yang menangkap ikan menggunakan bom dan bius.
“Meski perubahan iklim punya kontribusi pada kerusakan karang, namun penyebab utama kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut lainnya adalah bom. Itu bisa dilihat pada kerusakan terumbu karang itu di kedalaman lebih dari 5 meter, yang merupakan indikasi bahwa kerusakan terumbu karang akibat ledakan di bawah 5 meter. Sebab kerusakan akibat alam, seperti badai biasanya kerusakan karang pada kedalaman 1 hingga atau 2 meter.”