Badai Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur [NTT] pada April 2021, berdampak terhadap berkurangnya hasil tangkapan ikan. Terutama, bagi nelayan di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Karang-karang yang ada di perairan Teluk Kupang, mengalami kerusakan parah. Bahkan, karang-karang tersebut terhempas ke perairan dangkal dan membentuk gugusan batu karang.
“Sebelum Seroja, di Teluk Kupang banyak ikan,” tutur Mariam Badaruddin, perempuan nelayan di Kota Kupang, Minggu [5/11/2023]
Mariam menuturkan, kondisi ini diperparah dengan dibangunnya tanggul di pesisir pantai Teluk Kupang yang membuat ikan tidak lagi berada di pesisir.
“Biasanya ikan sarden berwarna putih dan merah banyak di pesisir pantai Teluk Kupang. Sekarang jarang ditemukan lagi,” ujarnya.
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional [BKKPN] Kupang bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara [YKAN] melakukan survei cepat di 19 titik, di sekitar perairan Kota Kupang, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Rote Ndao. Hasilnya, siklon Seroja mengakibatkan kerusakan cukup besar pada terumbu karang walau tidak merata di semua tempat.
Dari 7 lokasi terumbu karang di Teluk Kupang, menunjukkan pada perairan sekitar Kuanheum dan Lifuleo tidak terdampak siklon Seroja. Sekitar Perairan Alak dan Nitneo, terdampak sedang dan di wilayah Kelapa Lima, Pasir Panjang, serta Namosain kondisi terumbu karangnya sangat terdampak. Di area yang sangat terdampak, nyaris tidak ada karang hidup pada radius sekitar 10 meter dari gundukan koral.
Merujuk Badan Pusat Statistik NTT, produksi perikanan tangkap NTT 2020 sebesar 182.349 ton dan meningkat menjadi 190.594 ton pada 2021, atau naik 4,53%.
Jenis ikan dengan bobot terbesar yang ditangkap adalah tongkol [24.350 ton] dan paling sedikit udang [50 ton].
Bermitra dengan BMKG
Muhammad Mansur Dokeng [41], Ketua Kelompok Nelayan Angsa Laut Oesapa Kota Kupang, menuturkan pihaknya sejak 2019 bermitra dengan BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika] Kupang.
Kelompoknya selalu mendapat informasi tinggi gelombang dan cuaca ekstrem, sebab banyak nelayannya alumni sekolah lapang cuaca BMKG.
“Katong [kami] dibantu dengan dispaly dari BMKG, sehingga angka kecelakaan di laut akibat cuaca buruk nol,” tuturnya.
Mansur mengakui, hasil tangkapan ikan di Teluk Kupang tidak sebanyak 15 tahun lalu. Saat ini, paling hanya bisa menutupi biaya operasional. Nelayan Angsa Laut lebih memilih menangkap ikan di luar Teluk Kupang, menggunakan perahu ukuran 2 GT bermesin tempel.
Biasanya, September hingga November banyak ikan pelagis di Teluk Kupang.
“Ikan tenggiri sejak September jarang tertangkap, sementara ikan marlin saat ini hanya satu dua ekor yang didapat,” ungkapnya.
Siasati keadaan
Mencegah dampak kerusakan di laut kian parah dan dampak perubahan iklim, Kelompok Nelayan Angsa Laut mengajak warga untuk tidak membuang sampah di laut dan juga di Pantai Oesapa.
Mereka juga melarang nelayan menggunakan bom, potasium, serta racun saat menangkap ikan. Kelompok ini juga menanam bakau di pesisir pantai, tempat ikan bertelur dan berkembang biak.
“Menjaga kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama,” terang Dewa.
Terkait berkurangnya pendapatan, selain usaha simpan pinjam, Kelompok Angsa Laut juga membuka usaha jual beli hasil bumi. Juga tengah dibangun instalasi pengolahan air hujan [IPAH] bantuan BPDAS Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup [KLHK]. Airnya nanti diolah dan dijual ke warga.
Uang hasil usaha tersebut bisa dipergunakan bila ada nelayan yang sangat membutuhkan dana.
“Dampak perubahan iklim membuat nilai jual hasil tangkapan menurun dan pendapatan nelayan juga menurun,” tutur Dewa.
Terhadap kondisi tersebut, Yasinta Adoe, perempuan nelayan Pasir Panjang, bersama warga juga turut membersihkan pantai dari sampah, serta menanam pohon waru [Hibiscus tiliaceus] guna mencegah abrasi.
“Kami juga melakukan budidaya rumput laut, difokuskan di Pulau Kera yang perairannya masih bersih,” ujarnya.